Senandung Sunyi di Waktu Ramadhan

Riyo Arie Pratama
0

Ada sesuatu yang ganjil tentang Ramadhan tahun ini. Mungkin karena ia datang ketika dunia terasa melambat, atau barangkali justru karena kita yang mulai terbiasa dengan ketergesaan, sehingga kehadirannya terasa seperti jeda yang terlalu sunyi. Ramadhan bukan sekadar penanggalan di kalender atau agenda ritual yang berulang saban tahun. Ia adalah sebentuk percakapan, lirih dan panjang, yang kerap kita abaikan di tengah hiruk-pikuk keseharian.



Tahun ini, langit senja tampak lebih jingga. Azan magrib menggema lebih dalam, seolah memanggil bukan hanya tubuh yang lapar, tapi juga jiwa yang haus akan ketenangan. Ada kekhusyukan yang melayang-layang di udara, menggantung di sela-sela doa yang tak selalu fasih, namun jujur. Waktu melambat. Detik seperti menunda lajunya, memberi ruang bagi setiap orang untuk mendengar dirinya sendiri.

Ramadhan, seperti tahun-tahun sebelumnya, selalu menjadi ruang bagi introspeksi. Tetapi tahun ini, introspeksi itu terasa lebih telanjang. Mungkin karena kita dipaksa lebih banyak diam, menyusun ulang makna di balik rutinitas yang sering kita lakukan tanpa sadar. Ada sesuatu yang samar namun gamblang di antara sahur yang sunyi dan doa-doa yang mengalir lirih selepas tarawih.

Kita duduk di meja makan yang sama, dengan menu berbuka yang tak jauh berbeda. Namun, ada rasa yang beringsut perlahan di antara suapan pertama dan tegukan terakhir. Rasa bahwa kita tak lagi menjadi orang yang sama seperti tahun-tahun sebelumnya. Kita mulai memahami bahwa lapar bukan sekadar soal menahan nafsu, tapi juga tentang menimbang ulang segala yang kita miliki atau betapa seringnya kita lupa bersyukur.

Barangkali, pelajaran terbesar dari Ramadhan bukan pada keteguhan menahan haus dan lapar, melainkan pada cara kita berdamai dengan sunyi. Di antara jeda waktu, saat perut mulai berontak dan pikiran menari-nari mencari pelarian, kita menemukan kekosongan yang selama ini kita hindari. Kekosongan yang pada akhirnya menjadi ruang bagi perenungan. Kita belajar bahwa sunyi bukan lawan dari kebisingan, melainkan jembatan menuju pemahaman. Ia membuka pintu bagi kita untuk bertanya tentang hal-hal yang tak sempat kita pikirkan di tengah hari-hari biasa. Siapa kita tanpa segala atribut yang melekat? Tanpa pekerjaan, tanpa media sosial, tanpa segala bentuk validasi dari luar?

Ada keindahan pada ritual-ritual kecil yang sering luput dari perhatian. Menyusun piring di meja makan. Membaca doa dengan suara nyaris berbisik. Menyeruput teh hangat selepas sahur sambil menunggu waktu subuh. Semua itu menjadi semacam pengingat bahwa kebahagiaan sering kali bersembunyi di balik hal-hal sederhana. Tahun ini, tarawih berjamaah terasa lebih intim. Meski masjid-masjid tetap ramai, namun ada ketenangan yang berbeda di dalamnya. Doa-doa mengalir lebih pelan, seakan setiap kata diucapkan dengan penuh kesadaran. Ada rasa rindu yang samar di setiap sujud, rindu pada sesuatu yang tak selalu bisa kita namai.

Ramadhan ibarat cara kita memeluk, lembut namun pasti. Ia memberi kita kesempatan untuk berhenti, menepi, dan menatap diri sendiri dari kejauhan. Kita mendengar gema tadarus di malam-malam ganjil, bukan sekadar sebagai salah satu bilah ibadah, tapi juga sebagai bisikan untuk kembali ke dalam diri. Tahun ini, doa-doa terasa lebih personal. Ada harapan yang diselipkan di antara tasbih yang kita hitung. Harapan untuk menjadi versi diri yang lebih baik. Harapan untuk menemukan kedamaian di tengah dunia yang kadang semakin bising. Harapan untuk pulang bukan hanya ke rumah, tapi juga ke dalam hati sendiri.

Ketika nanti bulan ini berlalu, kita akan merindukan sunyi yang ia tinggalkan. Kita akan merindukan cara waktu melambat, cara doa-doa menyelusup di sela-sela malam, dan cara hati kita bersandar pada sesuatu yang lebih besar dari diri sendiri. Ramadhan tahun ini, seperti halnya hidup, adalah perjalanan menuju rumah. Rumah yang bukan berupa bangunan, melainkan ruang dalam diri yang lama kita abaikan.
Tags:

Posting Komentar

0Komentar

Posting Komentar (0)

Tag Terpopuler