Kemajuan teknologi informasi telah membawa perubahan besar dalam cara kita mengakses informasi dan hiburan. Dahulu, televisi menjadi satu-satunya media utama yang mempengaruhi opini publik dan memberikan tontonan yang seragam. Namun, kini dengan adanya platform online seperti Netflix, YouTube, dan TikTok, setiap individu memiliki kebebasan untuk memilih konten yang mereka inginkan. Meskipun demikian, tidak semua konten layak ditonton oleh semua kalangan. Inilah yang menjadi perhatian utama Komisi Penyiaran Indonesia (KPI), terutama dalam konteks revisi Undang-Undang Penyiaran.
Di era digital saat ini, masyarakat memiliki keleluasaan untuk memilih dan mengakses berbagai jenis tontonan sesuai keinginan mereka. Platform online memberikan kebebasan yang jauh lebih besar dibandingkan televisi konvensional. Jika dulu kita hanya bisa menikmati program yang ditayangkan secara serentak oleh stasiun TV, kini kita bisa menonton ulang atau memilih konten sesuai preferensi kita kapan saja. Hal ini menjadikan masyarakat lebih pintar dan luas pengetahuannya, karena mereka dapat mengakses informasi dari berbagai sumber.
Kebebasan ini memungkinkan kita untuk menonton tayangan dari berbagai belahan dunia, membuka wawasan kita terhadap budaya dan perspektif yang berbeda. Namun, kebebasan ini juga membawa tantangan tersendiri. Beberapa pihak merasa bahwa tidak semua konten di platform digital layak untuk ditonton, terutama oleh anak-anak atau remaja. Oleh karena itu, ada wacana untuk merevisi Undang-Undang Penyiaran yang tidak hanya mengatur penayangan di televisi konvensional, tetapi juga di platform streaming seperti Netflix, YouTube, TikTok, dan lainnya.
Rencana revisi Undang-Undang Penyiaran yang baru ini akan memperluas definisi penyiaran. Dalam undang-undang tahun 2002, penyiaran didefinisikan sebagai kegiatan pemancarluasan siaran melalui berbagai sarana pemancaran dan transmisi. Namun, dalam revisi yang diusulkan, definisi ini akan ditambahkan dengan kalimat yang menyatakan bahwa penyiaran juga mencakup konten yang dapat diakses kembali oleh masyarakat melalui perangkat penerima siaran.
Perubahan ini berarti bahwa semua konten yang disiarkan di platform digital juga akan berada di bawah pengawasan KPI. Ini mencakup konten yang diproduksi oleh lembaga penyiaran maupun oleh individu atau perusahaan yang menggunakan platform digital untuk menyebarluaskan konten mereka.
Dampak terhadap Konten Digital
Jika revisi ini disahkan, banyak konten di platform seperti YouTube, Netflix, dan lainnya akan terkena dampaknya. Setiap tayangan harus mendapatkan izin dan lolos dari sensor KPI sebelum bisa ditayangkan. Ini berarti bahwa kreator konten tidak akan bisa secara bebas mengunggah video mereka tanpa melalui proses verifikasi yang ketat.
Salah satu contoh yang jelas adalah konten yang mengandung unsur kekerasan, narkotika, atau perilaku negatif lainnya. Dalam pasal 56 ayat 2 dari revisi undang-undang disebutkan bahwa isi siaran yang berisikan narkotika, psikotropika, zat adiktif, alkohol, dan perjudian akan dilarang. Selain itu, konten yang memuat unsur mistik atau horor juga akan dibatasi. Ini berarti film-film populer seperti "Breaking Bad", "Peaky Blinders", "Narcos", serta film-film horor dan dokumenter tentang narkotika atau kekerasan mungkin tidak bisa tayang di Indonesia.
Selain itu, revisi undang-undang juga akan mengatur konten jurnalistik. Pasal 127 menyebutkan bahwa muatan jurnalistik dalam siaran lembaga penyiaran harus sesuai dengan ketentuan P3 (Pedoman Perilaku Penyiaran) dan Sis (Standar Isi Siaran). Ini berarti program-program investigasi seperti "Mata Najwa" atau dokumenter yang mengulas kasus-kasus kriminal secara mendalam mungkin akan terkena dampak dari peraturan ini.
Pro dan Kontra Revisi Undang-Undang
Ada berbagai pendapat mengenai urgensi dan dampak dari revisi undang-undang ini. Di satu sisi, pengawasan ketat terhadap konten digital dapat melindungi masyarakat, terutama anak-anak, dari konten yang tidak pantas. Namun di sisi lain, hal ini bisa dianggap sebagai bentuk sensor yang berlebihan dan membatasi kebebasan berekspresi serta kreativitas para kreator konten.
Banyak yang berpendapat bahwa seharusnya ada keseimbangan antara kebebasan memilih konten dengan perlindungan terhadap konten yang tidak layak. Misalnya, daripada melarang secara keseluruhan, mungkin bisa diterapkan sistem rating yang lebih ketat dan kontrol parental yang lebih efektif. Dengan demikian, masyarakat tetap bisa menikmati kebebasan memilih konten, namun dengan pengawasan yang tepat.
Kritik terhadap revisi undang-undang ini juga datang dari para pelaku industri kreatif. Mereka khawatir bahwa peraturan yang terlalu ketat akan membatasi inovasi dan kreativitas. Dalam era di mana konten digital menjadi salah satu pilar ekonomi kreatif, pembatasan yang berlebihan dapat berdampak negatif terhadap perkembangan industri ini.
Dari perspektif hukum, revisi undang-undang ini menunjukkan upaya pemerintah untuk menyesuaikan regulasi dengan perkembangan teknologi. Namun, implementasi dari revisi ini harus dilakukan dengan hati-hati agar tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip kebebasan berekspresi yang dijamin oleh konstitusi. Pengawasan terhadap konten digital memang penting untuk melindungi masyarakat dari konten yang berpotensi merusak. Namun, regulasi yang terlalu ketat bisa menjadi bumerang, menciptakan iklim ketakutan di kalangan kreator konten dan membatasi inovasi. Oleh karena itu, perlu adanya dialog yang konstruktif antara pemerintah, KPI, pelaku industri, dan masyarakat untuk mencapai solusi yang seimbang.
Contoh Kasus Internasional
Untuk memahami dampak dari regulasi yang ketat terhadap konten digital, kita bisa melihat contoh dari beberapa negara lain. Di Tiongkok, misalnya, pemerintah menerapkan sensor yang sangat ketat terhadap konten online. Hasilnya, banyak konten yang diblokir dan para kreator konten harus berhati-hati dalam setiap produksi mereka. Meskipun hal ini bisa melindungi masyarakat dari konten yang dianggap tidak pantas, namun juga membatasi kebebasan berekspresi dan akses informasi.
Di Eropa, regulasi konten digital lebih berfokus pada perlindungan data dan hak cipta. Uni Eropa mengadopsi General Data Protection Regulation (GDPR) yang memberikan perlindungan terhadap data pribadi pengguna. Selain itu, Directive on Copyright in the Digital Single Market memberikan perlindungan terhadap hak cipta, namun juga menimbulkan kontroversi karena dianggap membatasi kebebasan berbagi informasi di internet.
Solusi Alternatif
Dalam konteks Indonesia, ada beberapa solusi alternatif yang bisa dipertimbangkan selain revisi undang-undang yang terlalu ketat. Pertama, penerapan sistem rating yang lebih komprehensif. Seperti halnya dalam industri film, konten digital bisa diberi rating berdasarkan kategori usia. Dengan demikian, masyarakat bisa lebih sadar akan konten yang mereka akses dan orang tua bisa lebih mudah mengontrol tontonan anak-anak mereka.
Kedua, edukasi digital menjadi sangat penting. Masyarakat perlu diberikan pemahaman yang lebih baik tentang bagaimana mengakses dan menggunakan konten digital dengan bijak. Pemerintah bisa bekerja sama dengan sekolah dan lembaga pendidikan lainnya untuk memberikan literasi digital kepada siswa.
Ketiga, penguatan kontrol parental. Banyak platform digital sudah menyediakan fitur kontrol parental yang memungkinkan orang tua untuk membatasi akses konten tertentu. Fitur ini bisa lebih dipromosikan dan disosialisasikan kepada masyarakat agar penggunaannya lebih efektif.
Revisi Undang-Undang Penyiaran yang diusulkan oleh KPI memang menjadi isu yang cukup kontroversial. Di satu sisi, upaya ini bertujuan untuk melindungi masyarakat dari konten yang tidak pantas. Namun di sisi lain, hal ini juga bisa membatasi kebebasan berekspresi dan kreativitas para kreator konten digital.
Dalam menghadapi era digital yang semakin maju, diperlukan kebijakan yang bijak dan seimbang. Kebebasan memilih konten harus dihargai, namun juga perlu ada pengawasan yang tepat untuk melindungi masyarakat. Semoga revisi undang-undang ini dapat mempertimbangkan berbagai aspek tersebut dan menghasilkan kebijakan yang adil serta bermanfaat bagi semua pihak.
Dengan adanya dialog yang konstruktif antara pemerintah, KPI, pelaku industri, dan masyarakat, diharapkan regulasi yang diterapkan dapat menciptakan lingkungan digital yang aman namun tetap mendukung inovasi dan kebebasan berekspresi. Perubahan regulasi harus dilihat sebagai kesempatan untuk meningkatkan kualitas konten digital dan memastikan bahwa semua pihak dapat menikmati manfaat dari kemajuan teknologi ini secara bertanggung jawab.