Terhimpitnya Sang Pahlawan Tanpa Tanda Jasa

Riyo Arie Pratama
1

            Sebuah julukan “Pahlawan Tanpa Tanda Jasa” pasti sudah tidak asing di telinga masyarakat Indonesia. Ya, tak lain dan tidak bukan julukan itu disematkan untuk seorang yang mengabdikan dirinya untuk melaksanakan salah satu titah UUD 1945 yakni “mencerdaskan kehidupan bangsa”. Lebih spesifik lagi, julukan itu dilabelkan kepada orang yang berprofesi sebagai seorang Guru.

            Kata “Guru” adalah salah satu kata dari sekian banyak kata yang telah mengalami penyempitan makna (spesialisasi) hingga kini. Pada masa lalu, saat lagu Oemar Bakrie lagi sedang hits, kata Guru disematkan kepada semua orang yang mengajar atau memberikan ilmu (ilmu pengetahuan) kepada orang lain. Tapi kini, Guru lebih diidentikkan sebagai seorang yang berprofesi sebagai pengajar kelas di sekolah formal.

Pressure – Taau
taaubblog.wordpress.com

            Menilik pada latar belakang dan tujuan keberadaan guru yang baik, maka seharusnya guru mendapatkan respon yang baik dari elemen biotik dan abiotik yang berinteraksi dengannya. Faktanya, sangat luar biasa!
Alih-alih mendapatkan apa yang diharapkan di atas, di era ini guru justru menjadi salah satu profesi yang mendapatkan pressure turun-temurun yang makin kuat tapi di sisi lain dilucuti untuk bisa melakukan suatu hal yang berkebalikan dengan latar belakang dan tujuan keberadaanya.

            Pahamkah apa yang saya maksudkan ?
“Baiklah kalau belum paham, mari lanjut simak tulisan ini dengan seksama sembari diresapi ya…….”

Guru di pressure untuk selalu tampil sempurna. Dengan seragam yang hampir selalu dituntut perfect, serta selalu dipaksa dengan bayangan turun-temurun untuk terlihat super berwibawa atau istilah sekarang mungkin bisa disebut cool. Hingga terkadang guru kehilangan haknya untguk menunjukan sifat humorisnya dengan celotehan lucu yang aslinya sering keluar dari mulutnya.

Tak cukup di situ, guru juga ditimpahi dengan banyaknya tertib administrasi dari A hingga Z setiap tahunnya yang harus selalu diperbaharui. Padahal ada beberapa dari perangkat administrasi tersebut yang tidak mengalami perubahan dan tidak perlu dirubah pada waktu-waktu tertentu. Hingga output nya, guru terlalu sibuk dengan dunia tertib administrasi dan kehilangan fokusnya untuk benar-benar mencerdaskan kehidupan bangsa melalui peserta didik yang diampunya yang kemudian pasti akan mempengaruhi efektifitas belajar peserta didik baik langsung maupun tidak langsung.

Lebih lanjut kita menilik kalimat ”dilucuti untuk bisa melakukan suatu hal yang berkebalikan dengan latar belakang dan tujuan keberadaanya”. Maksud kalimat tersebut adalah berdasarkan landasan keberadaannya, guru adalah yang mengakhiri ketidaktahuan peserta didik menjadi pengetahuan yang diperoleh peserta didik. Namun saat guru didorong untuk melakukan pembelajaran, kompetisi belajar, dan seleksi kemampuan peserta didik melalui proses yang berkualitas tapi di sisi lain ada bayangan hitam akreditasi yang menakut-nakuti jika hasil yang dipanen tidak sesuai dengan harapannya.

**Akreditasi seakan menjadi momok menakutkan bagi sekolah, yang jika ada siswa tidak bisa mencapai KKM maka akreditasi itu bisa saja dipertanyakan. Tak menampik, ketakutan ini terkadang membuat pihak tertentu melakukan manipulasi agar terlihat aman dan everything is okey. Ada juga yang memindah peserta didiknya untuk meminimalisir kegagalan yang dicapainya.

Padahal aspek pembelajaran, proses seleksi dan kompetisi dalam belajar di kelas tidak hanya dipengaruhi oleh guru saja, masih ada masyarakat sekolah lainnya dan tak lupa pula peserta didik itu sendiri. Bahkan disebutkan pada kurikulum 2013 atau akrab disapa K13 ini pembelajaran di kelas berpusat pada peserta didik dan guru hanya sebagai fasilitator.

Selain guru dan peserta didik itu sendiri, peran orang tua di rumah juga menjadi sangat penting yang mempengaruhi efektifitas hasil belajar peserta didik. Guru memang menjadi “orang tua asuh” para peserta didik saat di sekolah, namun peserta didik tidak hanya hidup di dunia sekolah, tapi masih punya sebagian kehidupannya lagi di rumah. Pada saat di peserta didik #dirumahaja tidak mungkin si guru yang akan mengawasinya di rumah. (*Kecuali memang orang tua anak tersebut juga seorang guru). Di sinilah perang orang tua yang harus maksimal, untuk mengarahkan dan memantau putra putri tercintanya.

Sehingganya, perlu adanya resonansi dan kolaborasi yang dihadirkan antara sekolah, guru, orang tua, dan masyarakat di sekolah yang lainnya. Resonansi dan kolaborasi ini bisa dimulai dalam wujud saling percaya, saling mendukung dan saling mengisi kekurangan dari masing-masing, tidak mudah mengiyakan provokasi dari peserta didik itu sendiri maupun pihak eksternal lain yang ingin merusak keharmonisan semuanya. Karena tak sedikit orang tua yang teramat percaya kepada anaknya yang sebenarnya belum layak diberikan kepercayaan.

Karena dari hemat saya, yang tahu perilaku peserta didik di sekolah ya pasti gurunya, karena orang tua jauh di rumah atau sedang di tempat kerja. (*atau bisa juga kalau orang tua pasang CCTV         yang terkoneksi ke rumahnya atau tempat kerjanya).

Jadi KUY! Sama-sama liat fakta. Buat para orang tua, “Kalau butuh kacamata untuk melihat sejatinya anakmu di sekolah, jangan ragu untuk bertanya dengan yang lebih dekat dengan perilaku anakmu, yakni Gurunya”




Tags:

Posting Komentar

1Komentar

Posting Komentar

Tag Terpopuler